SUARA INDONESIA

Lebih Tiga Abad Berdiri, Arsitektur Kuno Masjid Sewulan Madiun Tetap Terjaga hingga Kini

Prabasonta - 28 January 2024 | 14:01 - Dibaca 19.89k kali
Features Lebih Tiga Abad Berdiri, Arsitektur Kuno Masjid Sewulan Madiun Tetap Terjaga hingga Kini
Masjid Al Basyariyah yang dikenal dengan Masjid Sewulan yang berusia ratusan tahun di Desa Sewulan, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. (Foto: Yoni Setyo R/Suara Indonesia)

SUARA INDONESIA, MADIUN - Kawasan Madiun bagian selatan, ada sebuah masjid kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Yaitu Masjid Agung Al Basyariyah di Desa Sewulan, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Masjid kuno tersebut memiliki kesamaan dengan arsitektur Masjid Demak.

Masjid yang lebih dikenal dengan Masjid Sewulan tersebut, terletak sekitar enam kilometer arah selatan dari pusat Kota Madiun. Masjid tersebut didirikan oleh Raden Mas Bagus Harun alias Kiai Ageng Basyariyah pada 1740 M. Awal bangunan masjid kecil dan sederhana.

Awal berdirinya masjid tersebut, saat kesawan Desa Sewulan dan sekitarnya, diberikan oleh Sultan Mataram kepada Kiai Ageng Basyariyah. Dulu, kawasan ini adalah tanah perdikan atau tanah pemberian raja yang bebas pajak. Sedangkan nama Sewulan diambil dari kata sewu dan wulan atau seribu bulan. Nama ini ada kisahnya yang sarat dengan tirakat dan karomah.

Pada saat itu, Kiai Ageng Basyariyah dianugerahi songsong (payung) sakti oleh Raja Mataram yang dipergunakan untuk memilih tanah perdikan bagi dia dan anak turunnya. Semula, Kiai Ageng Basyariyah melarung payung tersebut di sebuah sungai di kawasan Bang Pluwang, Nglengkong, Sukorejo, Ponorogo. Namun atas titah gurunya, Kiai Hasan Besari, Kiai Ageng Basyariyah disuruh mencari kembali payung tersebut ke arah timur.

Setelah menemukan tempat di mana payung sakti tersebut muncul, Kiai Ageng Basyariyah diminta untuk mengembangkan Islam di sana. Selama berbulan-bulan, Kiai Ageng Basyariyah mencari payung tersebut hingga tiba bulan Ramadhan. Tepat di malam lailatul qadar, Kiai Ageng Basyariyah bertemu kembali dengan payung sakti miliknya.

"Karena ditemukan pada malam lailatul qadar yang juga diartikan sebagai malam seribu bulan, Kiai Ageng Basyariah menamai tanah perdikan tersebut dengan nama Sewulan yang berarti seribu bulan," jelas Kiai Imam Sururi, salah satu imam Masjid Sewulan.

“Dan mulai saat itu mendirikan masjid Al Basyariyah atau Masjid Sewulan. Masjid tersebut selain digunakan untuk ibadah, juga digunakan untuk mengembangkan ajaran Islam secara menyeluruh,” imbuhnya.

Meski sudah lebih dari 300 tahun, arsitektur pintu masjid dengan motif bunga kombinasi warna hijau muda serta bunga warna merah, masih terjaga keasliannya. Demikian juga tiang penyangga yang berada di dalam masjid, jendela dan tempat khutbah yang mempunyai ornamen bunga, juga masih terlihat mengikuti corak dari pintu masuk masjid tersebut.

Sedangkan di dalam masjid, juga ada sebuah tangga dari bambu yang berumur sama dengan bangunan masjid. Kondisinya terjaga dan terlihat masih kokoh.

Tangga yang terbuat dari bambu tersebut dulunya digunakan muazin untuk mengumandangkan azan. Yang paling membedakan dari masjid kuno lainnya terletak pada ketebalan temboknya yang mencapai satu meter.

Pada 1921, masjid ini direnovasi dan diresmikan pertama kalinya oleh KH Qolyubi bin Ilyas, penghulu Surabaya yang juga salah satu keturunan dari Kiai Ageng Basyariyah. Selanjutnya, masjid ini mengalami sedikit renovasi pada bagian serambi utara dan selatan di akhir kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Karena merupakan situs bersejarah dan banyak dikunjungi para peziarah, kawasan masjid ini dilirik oleh Badan Purbakala Mojokerto, dan dijadikan sebagai salah satu cagar budaya. Para jamaah tidak akan merasa kebingungan saat berziarah ke masjid ini, karena lahan cukup lapas, seluas 860 meter persegi lebih.

Para peziarah saat memasuki kompleks masjid, terdapat dua jalur. Yakni jalur utara dan jalur timur. Untuk jalur utara hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua dengan menerobos kompleks SMA Basyariah.

Adapun jalur timur, jalannya lebih lebar dan bisa dilalui kendaraan roda empat atau lebih. Di jalur timur ini, terdapat pintu gapura dengan kubah mungil di bagian atap tengah. Di bawahnya terdapat tulisan Sewulan sebagai penanda masuk di kawasan Masjid Sewulan.

Yang menarik dari masjid ini adalah keberadaan kolam tempat wudhu dan mandi bagi jamaah. Karena masjid pada umumnya, menempati areal untuk bersuci di bagian samping atau dalam masjid. Namun di Masjid Sewulan ini, tempat untuk bersuci ditempatkan tepat bagian depan dengan di dalamnya ada ikan mas yang ukurannya bervariasi.

Kolam tersebut, menyiratkan pesan bahwa untuk beribadah di masjid ini kesucian harus didahulukan. Selain itu, banyak warga masyarakat yang memanfaatkan air kolam ini untuk berbagai kesembuhan penyakit.

Masjid ini menurut Kiai Imam Sururi, salah seorang imam Masjid Sewulan, sarat dengan makna simbolis. Misalnya atap berundak tiga yang menaungi bangunan utama, memiliki makna bahwa setelah seseorang mengaku Islam maka tidaklah cukup hanya dengan bersyariat saja. Sebaiknya diteruskan dengan tiga tingkat, yaitu thoriqot, ma’rifat dan hakekat.

Induk masjid yang memiliki empat pintu dan lima jendela ini juga memiliki makna. Yakni pentingnya menguasai babagan howo songo. Sementara empat tiang masjid yang menyangga induk bangunan, menyimbolkan empat madzhab. Artinya, masjid ini sekaligus juga menjadi tempat untuk pengajaran pemahaman Sunni.

Sementara itu, tepat belakang masjid, terdapat makam dan pendiri Masjid Sewulan. Di dalam area makam ini, selain pendiri Desa Sewulan dan masjid, juga terdapat puluhan makam auliya. Mulai dari Raden Mas Harun (Kiai Ageng Basyariah) dan lainnya.

Di dalam satu barisan makam Kiai Ageng Basyariyah, juga terdapat dua makam lain, yaitu makam Kiai Muh Santri dan Nyai Muh Santri.

Di dalam pasarean ini, ada sebuah payung yang terdiri dari dua payung kecil dan satu payung besar. Payung tersebut merupakan sebuah replika songsong (payung) sakti oleh Raja Mataram yang dipergunakan untuk memilih tanah perdikan oleh Kiai Ageng Basyariyah dan anak turunnya.

Dan pada waktu malam Jumat dan bulan Ramadhan, makam ini selalu dipenuhi para peziarah dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Bahkan dari luar Jawa, seperti Lampung dan Kalimantan.

Siapa sangka, almarhum Gus Dur merupakan keluarga besar dari Kiai Ageng Basyariyah. Ini terbukti dari nenek Gus Dur yang juga dimakamkan di Sewulan.

Hingga saat ini, setiap menjelang salat wajib, masjid ini juga membunyikan kentongan dan bedug, sebagai pertanda datangnya waktu salat. Bedug dan kentongan ini juga berusia 300 tahun lebih, seusia dengan Masjid Sewulan.

Di saat mendengar lantunan azan, baik warga sekitar maupun masyarakat, langsung berbondong-bondong menuju masjid tua ini.

Secara formal, seperti masjid pada umumnya, masjid ini dikelola oleh takmir yang mengurusi masalah administratif dan imam atau pemangku masjid yang berperan sebagai pemimpin utama atau disebut juga sebagai Imam Rawatib. (*)


» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Prabasonta
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV