SUARA INDONESIA

Peluang Kalangan Muda Pimpin Indonesia pada Pemilu 2024

Lutfi Hidayat - 23 August 2023 | 13:08 - Dibaca 839 kali
News Peluang Kalangan Muda Pimpin Indonesia pada Pemilu 2024
Ilustrasi kotak suara Pemilu 2024

JAKARTA, Suaraindonesia.co.id - Kalangan muda masih menjadi perhitungan dalam kontestasi politik Pemilu 2024 baik sebagai presiden, wakil presiden atau mereka yang mau berlenggang ke parlemen.

Hal itu, perlu dijawab secara tepat, bijaksana dan tidak terjebak pada wacana politik formal semata, seperti disampaikan Lembaga Kajian Politik John Caine.

Kajian John Caine Centre mencatat, sejak Kemerdekaan Indonesia 78 tahun lalu baru kali ini Pemilu didominasi pemilih muda yang tersebar pada generasi X, Y, Z dan milenial.

KPU RI sendiri, per-Juli 2023 juga mencatat jumlah pemilih tetap dalam DPT Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 jiwa. Sekitar 52 persen dari jumlah DPT itu atau sebanyak 106.358.447 jiwa adalah pemilih muda. 

Rinciannya adalah, pemilih berusia 17 tahun sebesar 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa. Kemudian, pemilih rentang usia 17-30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa. Dan pemilih dengan usia 31-40 tahun sebanyak 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa.

Sedangkan pemilih yang berusia di atas 40 tahun hanya sekitar 48,07 persen atau berjumlah 98.448.775 jiwa.

Dari data tersebut, hampir dipastikan bahwa pemilih muda memerlukan artikulator guna membangkitkan optimisme dalam mewakili kepentingan dan menyalurkan asipirasi mereka.

Tentunya, Para pemilih muda ini memiliki cara pandang sendiri dalam melihat permasalahan bangsa dan masa depan adalah milik mereka.

 “Pertanyaannya adalah siapkah kepemimpinan nasional diserahkan pada kaum muda? Ternyata kita belum sanggup menjawabnya,” ungkap Chairman John Caine Centre, Najib Salim Attamimi dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (23/08/2023).


Gelaran Pemilu 2024 sekitar 6 bulan lagi, tapi Indonesia belum memiliki jawaban atas pertanyaan hak dipilih kaum muda menjadi pimpinan nasional. 

Bangsa Indonesia, menurut Najib Salim Attamimi, menanti jawaban Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan uji materi yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Juli 2023 lalu, terhadap aturan Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Pasal ini mengatur persyaratan usia untuk menjadi capres dan cawapres minimal berumur 40 tahun. Sementara itu, pada pasal tersebut tidak ada batas usia maksimal.

Hal itu, kata Najib, jelas membatasi kesempatan kalangan muda untuk tampil menjadi pemimpin bangsa. Berbagai alasan yang mendasari Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak lagi obyektif dan relevan (out of date). 

“Usia tidak ada kaitannya dengan kualitas kematangan seseorang. Jika kaum muda dinilai masih labil atau belum cakap, tidak ada jaminan mereka yang sudah tua lebih matang," tegas Najib.

Banyak negara di dunia, sambungnya, seperti Perancis, Kanada dan Arab Saudi, pemimpin muda terpilih mengalahkan tokoh atau politisi senior. Indonesia sendiri memiliki banyak pemimpin muda potensial.

Para pemimpin muda yang telah teruji memimpin berbagai posisi dan jabatan publik maupun politik saat ini, ada Puan Maharani yang pernah menjadi Menteri Koordinator dan kini menjabat Ketua DPR RI.

Begitu juga Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Partai Demokrat, Giring Nidji yang mengetuai Partai Solidaritas Indonesia, Anies Baswedan yang pernah menjabat menteri dan gubernur. Ada pula Sandiaga Uno atau Erick Thohir yang masih duduk dalam Kabinet Presiden Jokowi. 

Di luar itu, dari kalangan komunitas pesantren ada Yenny Wahid yang juga aktif dalam gerakan masyarakat sipil, Emil Dardak dan Gibran Rakabuming Raka yang sedang menduduki jabatan pimpinan daerah. 

Berbagai jabatan dan pengalaman tersebut, jelas Najib, menandakan bahwa para pemimpin muda berkompeten, matang dan berpengalaman.

Terlepas dari siapa calon presiden atau calon wakil presiden yang akan memasuki gelanggang pemilihan, para pemimpin muda harus didukung dan diberi ruang. 

“Bukan malah memasang batasan yang menghambat karir politik mereka. Apakah itu syarat minimal umur, pengalaman atau partai pengusung harus memiliki kursi di DPR,” tegasnya. 

Faktanya, dalam sejarah tidak ada presiden dan wakil presiden Indonesia yang punya pengalaman sebelumnya. ”Kecuali Jusuf Kalla, yang pernah menjabat dua kali wakil presiden,” ungkapnya. 

John Caine Centre juga menyoroti kedewasaan sejumlah partai politik di Indonesia. Beberapa partai terlihat kurang akomodatif bahkan melihat bonus demografi semata, sebagai peluang pasar atau tenaga kerja. 

Partai politik yang lebih akomodatif sempat disambut partai lain pada awalnya. Tapi dalam perjalanan, ide mereka seperti dihambat. "Marilah kita sama-sama dewasa. Transisi sudah waktunya dijalankan. Kalau tidak sekarang, kita akan terlambat,” pungkasnya.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Lutfi Hidayat
Editor : Irqam

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV